“Gadis kecil itu tidak
mengerti apa-apa. Yang dia tau hanya bermain, tertawa dan menangis.
Meloncat-loncat di genangan air halaman kala hujan,berlari menuju ruang makan
ketika Kak Ani memanggilnya makan, menangis jika Bang Bayu mendorongnya hingga
terjatuh saat merebut gelas plastik warna biru, menjaili si tukang cengeng
Rendy, bermain boneka atau terkadang bermain masak-masakan bersama Tere, menggangkat
jemuran setiap jam lima sore. Dia bahkan tidak memikirkan esok hari, dia tidak
memikirkan orang dewasa yang seharusnya mengasuhnya dengan baik. Yang dia tau
hanya cara menghormati Kak Ani dan Bu Nida,juga menyayangi teman-temannya.
Gadis kecil itu kini sudah berbeda. Kini ia sudah tau pahitnya hidup, lelahnya
mencari uang dan beratnya perkuliahan. Dan gadis kecil itu adalah Aku.”
Laporan hari ini, aku
sedang merasakan kegundahan yang mendalam. Karena hati sedang mengalami fase
kemunduran dan otak sibuk mengulas masalalu. Lagi-lagi aku curhat di buku
warna-warni ini. Aku terlalu tenggelam dengan kebahagiaan masa kecil. Tak siap
jadi dewasa, tak siap mengurusi berkas perkuliahan yang harus kuantar besok.
“Arggghh…”
Kurebahkan badan ke belakang melambung ke kasur yang tidak terlalu empuk ini.
Setelah itu aku
ingat-ingat, bukankah seharusnya aku sedang senang diterima di salah satu Universitas
Negeri dan menjadi seorang Mahasiswi. Excited! Happy! Is that this feel. But di
antara kegembiraanku selalu saja tidak jadi sepenuhnya bahagia. Bayar semester
untuk semester depan misalnya. Belum uang buku. Mendung selalu saja
bergelayutan di kepalaku. Atau kadang sampai turun hujan di kelopak mata juga
badai yang menahun. Tidak apa-apa, kamu boleh datang kapan saja. So ? deal ?
karena sekarang aku sedang bahagia, boleh tidak aku “bahagia” ? sebentar saja ?
“Hmmm
ya Allah…”
Lalu masalah lenyap
bersama pejaman mata.
***
“Bik!
Ibik ! Bangun! ” Bingsing suara cempreng itu membuatku mulai sadar dari koma
semalaman.
“Hallo,
ada orang kah ?” lanjutnya, bukannya ini Negara merdeka yang damai. Tapi kenapa
hidupku tidak pernah damai Gusti.
“Ho’oo
tunggu bentar” jawabku sekeras yang aku bisa dengan nyawa yang baru setengah
masuk ke tubuh. Kulihat jam masih jam 7 pagi. Kenapa anak itu datang sepagi
ini.
Langkahku lunglai
menuju pintu, namun “Dukk”
“AWWW!!”
lagi lagi dan lagi dan lagi kebeberapa kalinya kakiku mencium kaki meja. Asmara
yang aneh antar kaki ku dan kaki meja. Denyutannya sampai ke ujung kepala,
jempolku makin sengklek ke kiri, dan ukurannya makin membesar.
“Bik
! kenapa ? ya Tuhan Lybinatun Sawarni, kamu nendang meja lagi. Hahaha…”
celotehan Tere di luar pintu membuat emosiku naik ke ubun-ubun.
Sambil
terpincang-pincang aku menuju pintu dan membukanya.
“Sakit
bik ?” Tanya Tere sambil menahan tawa.
“Gak
sakit, udah biasa dapat pijitan pagi dari meja. Ngapain sih teriak-teriak ?
ntar tetangga pada marah loh” Meladeni candaan Tere dengan muka kesal.
“Haha,
sorry-sorry. Eh ini ada sarapan dari kak Ani ” Tere meletakkan rantangan di
meja tempat kejadian perkara itu.
“wahh,
nyam-nyam. Senangnya dapat sarapan. Hehe. Makasih re” tanganku spontan memeluk
Tere namun di tolak.
“Mandi
sana baru peluk, ihh bau iler tauk” Tere mengelak pelukanku.
“Iya
iyaaa Mama. haha” lalu aku jalan menuju kamar mandi.
Tere adalah sahabatku, kadang
kakak, atau kadang dia jadi adik, Sosok yang sangat berarti bagiku. Kami saling
melengkapi, saling mengisi posisi orang yang bahkan tidak pernah kami punya,
sosok Ibu dan sosok seorang Ayah.
Kami besar di panti
asuhan, di buang oleh seorang yang sering kalian sebut“Ibu” , mandiri dengan
cara kami masing-masing. dan sekarang kami sudah dewasa. Aku memutuskan pergi
ke kota agar bisa melanjutkan pendidikan, modal nekat dan dengan modal uang Kak
Ani untuk membayar SPP semester ini. Tere mengikutiku ke kota ini. Bekerja di
Cutie Bouquet, menyusuni bunga-bunga dan membuatnya selalu cantik. Seperti hatinya,
kesabarannya. Aku beruntung bertemu dengan Tere, bisa tumbuh dan dewasa
bersamanya.
***
“Ini
kampusmu bik” Tere Tercengang.
“Iya,
gimana bagus kan ? tapi aku gak yakin bisa disini sampai lulus re” aku menunduk
memainkan berkas yang aku dekap.
“Wes
toh. Jangan mulai lagi. Selalu ada jalan, kan dari dulu gitu. Yang susah selalu
pasti akan jadi gampang. Jangan dipikir kali”
“Aku
cuma takut bikin Kak Ani kecewa, aku juga gak mau nyusahin kamu terus” kelopak
mataku mulai berair.
“Emang
aku pernah bilang kamu ngerepotin ? kamu adikku beda sebulan, aku kakakmu. Cukup
yakinin itu. semuanya pasti jadi mudah. Kalo nangis ya nangis dulu, jangan di
pendam.” Tere mengelus punggungku.
“Nggak,
aku gak mau nangis lagi. Aku lagi mau bahagia.” Senyumku mengembang di
hadapannya dengan air mata yang menetes sekali. Mulai hari ini aku mau bikin
orang yang menyayangi aku bangga.
“Gitu
dong, yukk” Tere menggandeng tanganku masuk ke gedung bertingkat yang akan jadi
masa depanku.
***
“Hmm,
mau balikin berkas mas” aku berbicara kepada mas-mas petugas yang berkacamata
bulat.
“Owh,
yo yo. Disini. Nama kamu siapa ?” tanyanya sambil melirikku dengan menurunkan
kacamatanya.
“Lybinatun
Sawarni, hmm Lybi . L Y B I…” selalu seperti ini jika ada orang baru yang ingin
mencatat namaku.
“L
Y B Y ? piye to ? ni kamu tulis sendiri” sepertinya mas-mas ini mulai lelah
dengan antrian ratusan mahasiswa yang datang mengembalikan berkas.
Perjuangan sesak dan
mengeja namapun selesai. Tapi Tere entah dimana.
“Mbak
mbak, pinjem bolpen dong sebentar” sebuah tangan menepuk pundak, dan akupun
menoleh.
“ha..”
tanyaku sekali lagi sambil membalikkan badan
“pinjam
bol..p…” suaranya terhenti.
“Ibik..”
“Rendy…”
Lelaki yang
meninggalkan aku di panti asuhan, lelaki yang di adopsi keluarga kaya, lelaki
yang pernah begitu aku andalkan, lelaki yang katanya pergi ke pulau kalimantan,
kenapa dia ada disini ? kenapa harus dia dari ratusan orang disini ? Aku, harus
bagaimana ?
Bersambung…